Kotak hitam
Sejatinya, black box yang merekam data penerbangan
tidak berwarna hitam, tapi oranye. Jejak warna oranye masih terlihat
pada kotak hitam Sukhoi SSJ 100. Warna mencolok ini dimaksudkan untuk
memudahkan pencarian saat misalnya tenggelam di laut.
Menurut howstuffworks.com, istilah "kotak
hitam" boleh jadi berasal dari dua hal: warnanya memang hitam pada
produksi pertama atau karena kotak itu selalu cenderung hangus terbakar
akibat kecelakaan.
Menurut dokumen L-3 Communications, penemu pesawat Wright
bersaudara telah memelopori penggunaan perangkat ini untuk merekam
rotasi baling-baling. Perang Dunia II lalu meluaskan penggunaannya untuk
merekam penerbangan.
Pada 1953, ada peristiwa yang menginspirasi pembuatan kotak
hitam pertama. Itu adalah ketika ilmuwan Australia, David Warren,
menyelidiki jatuhnya Komet De Havilland di India pada 1953. Berdasarkan
laporan Time, Warren tidak dapat
memastikan penyebab kecelakaan yang menewaskan 43 orang itu.
Sejak itu, selama
beberapa tahun, dia lalu mengembangkan prototipe perekam penerbangan
yang melacak informasi dasar seperti ketinggian dan arah pesawat.
Terbungkus asbes dan logam, perekam data dan suara ini dijuluki “kotak
hitam” karena tidak ada yang tahu cara kerjanya.
Kotak hitam berisi pita
magnetik atau kaset mulai populer pada akhir 1950-an. Perangkat ini
wajib digunakan penerbangan komersial pada 1960 atas instruksi Badan
Penerbangan Federal AS. Setelah kotak hitam kerap ditemukan hancur dalam
kecelakaan, pada 1965 posisinya dipindahkan ke bagian belakang pesawat,
supaya lebih dapat bertahan.
Kini, kotak hitam tak
lagi menggunakan kaset yang mudah meleleh. Perangkat itu kini
menggunakan chip memori tanpa bagian bergerak, sehingga risiko kerusakan
menjadi lebih kecil.
Kotak hitam seharusnya terdiri dari Flight Data Recorder (FDR)
dan Cockpit Voice Recorder (CVR). CVR berisi data audio percakapan yang
terjadi di kokpit dengan durasi sekitar dua jam. FDR merekam data
penerbangan selama 25 jam.
Dua perekam ini mampu menahan suhu hingga
2.000 F (sekitar 1.093 C) dan hantaman hingga 100 G; 1 G sama dengan
kekuatan gravitasi bumi. Duet perangkat ini melacak percakapan pilot,
suara mesin, perintah kontrol lalu-lintas udara, level bahan bakar,
peralatan pendaratan, dan data-data lainnya yang merekam saat-saat
terakhir pesawat.
Di luar kotak hitam
Persoalannya, usai kecelakaan pesawat,
selalu saja sangat sulit mencari kotak hitam. Apakah tidak ada teknologi
yang lebih memudahkan?
Hal itulah yang memicu produsen pesawat Kanada, Bombardier,
merilis CSeries tipis pada bodi jet yang bakal dirilis 2013 mendatang.
Dengan perangkat itu, pesawat ini akan menjadi pesawat komersial pertama
dengan kemampuan mengirimkan data telemetri, bukan hanya merekamnya
saja. Ide di baliknya adalah untuk streaming data
secara real time baik secara
langsung dari stasiun darat ataupun dengan satelit.
Kendati menjadi
alternatif untuk menggantikan kotak hitam, tujuan utama inovasi
Bombardier bukanlah untuk membantu penyelidikan pesawat jatuh.
Perusahaan ini hendak membuat pusat data penerbangan yang menampung
informasi operasi dan performa mekanis pesawat. Akan tetapi, dengan
teknologi ini, data dapat disimpan dengan aman meski pesawat mengalami
kecelakaan. Hanya dalam kesempatan yang langka, kecelakaan dapat merusak
panel sirkuit sehingga tidak lagi bisa dibaca.
Soal kerahasiaan, pada
prinsipnya jalur streaming suara
bisa dienkripsi saat proses transmisi. Akan tetapi, inovasi ini masih
ditentang untuk diimplementasikan. “Streamingdata suara tidak akan terjadi. Kita tidak butuh
program reality show pesawat,”
ujar Voss, seorang pakar keselamatan penerbangan, menyindir.
Biaya adalah persoalan
lain dari teknologi baru ini. Penyimpanan datanya sendiri tergolong
murah. Tapi, harga kapasitas bandwidth pada
satelit untuk dapat menampung data lalu-lintas laut dan udara sangatlah
mahal, sekitar US$1 per kilobyte.
Persoalan ekonomi ini
jauh lebih menantang ketimbang persoalan teknis. Untuk menyediakan
kapasitas bandwidth yang diperlukan
untuk teknologi ini, diperlukan setidaknya 88 parameter untuk melayani
8.000 lebih penerbangan komersial pada saat ini.
Penemu telemetri, Seymour
Levine, memperkirakan kebutuhan bandwidth maksimum untuk setiap
penerbangan adalah sekitar 25 Mbps. Total penyimpanan data dalam sehari
adalah sebesar 100Gb atau seperempat kuota memori internal iPod
Classic.
Levine
bersama istrinya telah mematenkan sistem yang mereka namai "Safelander"
ini. Teknologi ini juga memungkinkan pilot berada di darat untuk
mengendalikan pesawat yang sedang terbang dari jarak jauh. Dia
menyatakan sistem ini bisa menggagalkan peristiwa pembajakan pesawat
9/11 yang sedang beroperasi di udara. Sistem ini juga berpotensi
manjawab kebutuhan militer untuk merancang pesawat tanpa awak.
Demikian Artikel tentang Misteri Kotak Hitam Sukhoi Superjet 100 Semoga
ada manfaatnya.
Sumber : Fokus.vivanews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar